Ketua DPD PPWI Sultra, 22 Tahun Konawe Selatan: Saatnya Evaluasi Serius, Bukan Sekadar Euforia Seremonial

SOROTANSULTRA.COM | KONSEL — Peringatan Hari Jadi Kabupaten Konawe Selatan yang ke-22 pada 2 Mei 2025 kembali dirayakan dengan gegap gempita. Ketua Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), La Songo, turut menyampaikan ucapan selamat dan apresiasi kepada Bupati Irham Kalenggo. Namun di balik pujian-pujian normatif yang berulang tiap tahun, publik patut bertanya: Apa yang sebenarnya sudah dicapai selama dua dekade lebih pemekaran ini?

Konawe Selatan disebut sebagai daerah “subur dan penuh potensi”, tapi realitas di lapangan menunjukkan wajah yang berbeda. Ketimpangan pembangunan antarwilayah masih nyata, infrastruktur di banyak desa belum layak, dan angka pengangguran serta kemiskinan tetap menjadi tantangan utama. Maka pertanyaan mendasarnya: Ke mana arah pembangunan yang katanya “berkeadilan” itu?

La Songo menyebut Irham Kalenggo sebagai pemimpin dari “rahim rakyat” dan memuji visinya yang sederhana dan berkeadilan. Tapi rakyat butuh bukti, bukan slogan. Keterbukaan informasi publik masih lemah, transparansi anggaran kerap dipertanyakan, dan partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan nyaris tidak terdengar. Retorika ‘SETARA’ (Sederhana, Transparan, Berkeadilan) hanyalah jargon kosong jika tak dibarengi kebijakan yang konkret dan menyentuh akar persoalan rakyat.

Keseimbangan antara pembangunan fisik dan sosial yang disebut-sebut masih jauh panggang dari api. Proyek-proyek besar memang dikerjakan, tapi siapa yang benar-benar menikmati hasilnya? Pemerintah daerah tampak sibuk membangun citra, namun lupa bahwa legitimasi sejati datang dari kepuasan publik, bukan dari pencitraan di media.

Peringatan hari jadi seharusnya menjadi momentum evaluasi menyeluruh, bukan hanya panggung glorifikasi. Pemuda, perempuan, kelompok marginal—semuanya masih minim dilibatkan dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan. Pemerintahan inklusif bukan soal narasi, tapi praktik nyata.

Jika Konawe Selatan benar ingin menjadi simbol kemajuan dan keadilan, maka yang dibutuhkan adalah keberanian untuk berubah: membongkar sistem yang stagnan, memperbaiki tata kelola pemerintahan, dan berani mendengar suara-suara kritis. Jangan lagi menjadikan ulang tahun daerah sebagai ajang menyuap nalar publik dengan pujian-pujian palsu.

Kritik ini bukan untuk menjatuhkan, tapi untuk mengingatkan: 22 tahun adalah usia matang untuk berhenti bersandar pada alasan ‘baru tumbuh’. Rakyat butuh kepemimpinan yang hadir, mendengar, dan bekerja. Jika pemerintah daerah tak siap dikritik, maka mereka tak siap memimpin.

Laporan: Nasir Alex

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed