SOROTANSULTRA.COM | KONAWE -Gambaran Kecil Tantangan Pemerintahan YA-SYAM
Opini oleh : Jumran, S.IP, Direktur Pusat Advokasi Konsorsium Hak Asasi Manusia (POSKOHAM)/Ketua Partai PRIMA Konawe
Hak asasi manusia, sesungguhnya melekat sebagai organ kekuasaan. Ibarat jantung, sirkulasi yang menegasikan keadilan dan distribusi kesejahteraan dengan merata akan memicu kerusakan fungsi kekuasaan. Karenanya, tak ada pencapaian apapun dari kerja instrumen pemerintahan, jika pada tanggung jawab HAM justru jauh dari prinsip pemenuhan.
Demikian faktanya. Upaya penyelesaian konflik agraria, pengentasan kemiskinan, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengelolaan sumber daya alam, pembangunan pertanian atau ketahanan pangan sebagai wujud pembangunan daerah, bagai dongeng 1000 malam. Butuh waktu yang panjang untuk sampai pada kisah pencapaian jika tidak sedang dibuai kelalaian.
Lihatlah bagaimana praktek pengelolaan sumber daya alam misalnya, berdiri tegak diatas instrumen konstitusi yang sekian jumlah namun bagi rakyat berujung sumpah serapah. Retorika kesejahteraan dibaliknya, tak mampu mengevakuasi hak petani di pinggiran, hak nelayan yang rentan, hak buruh yang diabaikan, hingga akhirnya hak asasi rakyat secara keseluruhan.
Mungkin tidak terlambat untuk mengakui, bahwa wajah kekuasaan pemerintahan kita terlampau eksklusif. Mengutip Fadel Muhammad, Mantan Gubernur Gorontalo, yang menyebut birokrasi sebagai elemen penting pemerintahan daerah masih saja berparadigma kolot, sarat dengan kolusi akibat budaya aparatur yang mengkhianati fungsi.
Birokrasi Pemerintahan seperti ini doyan melayani kroni-kroni kekuasaan dan sekelompok oligarki, bukan berjibaku demi memenuhi hak asasi rakyat. Mereka membangun officialdom atau kerajaan pejabat, lalu mendaulat rakyat sebagai pelayan raja, bukan yang dilayani.
Reduksifasi HAM Ditengah Kepemimpinan Birokratis
Lalu, Jembatan elektoral, nyatanya telah mengantarkan politik bertahta di daerah dengan kostum yang baru. Program kerja pembangunan yang dahulu adalah janji kampanye diharap menemukan implementasi pada masing-masing organisasi perangkat daerah (OPD) di bawah kendali kepemimpinan bupati.
Pada titik ini, politik demokrasi akhirnya berhadap-hadapan dengan sistem birokrasi. Kekuasaan dari rakyat untuk rakyat hanya menjadi semboyan, setelah kepemimpinan birokratis yang terbentuk melampaui tugasnya. Tidak saja sebagai konseptor, fasilitator dan edukator, namun justru menjadi aristokrator. Kekuasaan sekelompok orang istimewa, secara materil dan strata sosial.
Pola Pemerintahannya meniadakan Civil Society atas nama kewenangan dan mekanisme birokrasi yang seolah terbuka namun tertutup. Tak ada aspirasi rakyat disitu, apalah lagi hak asasinya. Sebuah embrio yang menegasikan hak asasi manusia (HAM) dalam pembangunan daerah.
Alur dari paradigma mainstream kekuasaan pemerintahan daerah seperti ini menjadi jawaban mengapa hak asasi rakyat atau hak asasi manusia (HAM) mengalami reduksifasi. Seperangkat regulasi daerah sebagai payung hukum pembangunan justru semakin usang dibalik meja kantor eksekutif legislatif tanpa inovasi dan kreatifitas. Perspektif HAM tak memiliki ruang untuk dijadikan pendekatan dalam memahami dialektika pembangunan daerah. HAM menurut mereka, hanya soal Papua dan konflik yang menyertainya, bukan menyangkut mengapa sekelompok petani di desa tak mendapatkan subsidi pupuk misalnya, atau mengapa buruh tak kunjung dipenuhi hak-hak normatifnya dalam hubungan industrial.
HAM yang mengalami pendangkalan secara maknawi itu akhirnya menjadi sumber kegagalan implementasi, cikal bakal mandulnya seperangkat regulasi dewan dan penyelenggara daerah tentang cita-cita kesejahteraan rakyatnya. Padahal, amanah konstitusi UU HAM Nomor 39 tahun 1999 telah menyebut bahwa pemerintah tidak saja berperan utama dalam upaya penghormatan, perlindungan, penegakan dan pemajukan HAM, namun juga bertanggung jawab atas upaya pemenuhannya.
Pemerintah diwajibkan menjunjung tinggi HAM dengan melihat rakyat sebagai pihak yang mesti dilayani haknya, bukan sekedar pihak yang layak diberi kompensasi dengan standarisasi dan kategori tertentu. Rakyat bukan mereka sebagai wajib pajak, melainkan mereka yang paling wajib berhak. Reverse Logic atau logika terbalik dari pemerintah seperti ini meski kita asuh dalam penyelenggaraan pembangunan dan reformasi birokrasi, dimulai dari reformasi regulasi lalu reformasi pengelolaan keuangan daerah.
Segar dalam ingatan, setahun lalu (24/01/2024), Pusat Advokasi Konsorsium Hak Asasi Manusia (PoskoHAM) meminta Pemerintah Kabupaten Konawe meninjau
kembali tarif retribusi pasar daerah dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 tahun 2023 yang faktanya mencederai rasa keadilan rakyat pedagang, dan lalu membuahkan hasil. Revisi perda seperti ini, layak menjadi contoh bagi evaluasi regulasi daerah yang cendrung menyengsarakan dan melanggar hak asasi rakyat. Artinya, reformasi regulasi mesti diawali oleh revisi sejumlah peraturan daerah dan peraturan bupati dimana instrumen HAM mendapatkan celah posisi tawar didalamnya.
APBD dan Political Will Pemerintah Daerah
Amanah Penderitaan Rakyat, substansi dari apa yang disebut APBD. Meski alokasi anggaran itu merupakan cerminan kebijakan pemerintah, namun korelasinya terhadap hak peruntukan bagi rakyat justru mengalami disparitas. Jarak pengetahuan publik terhadap transparansi eksekutif dan legislatif atas pengelolaan uang rakyat itu sangatlah lebar. Kontras dengan kondisi salah satu provinsi dan kabupaten yang secara jujur menayangkan besaran serta rincian APBD mereka pada media guna diketahui oleh publik. Final Outcome dari political will itu ialah keleluasaan rakyat mengawasi dan mendapatkan Output atas kebijakan anggaran dan pengelolaan APBD pemerintah setempat.
Lantas bagaimana mungkin mengharapkan penyelesaian konflik agraria dan sekelumit persoalan buruh di daerah ini misalnya, jika payung hukum berbasis HAM masih begitu jauh dari meja para legislator dan eksekutor untuk sekedar dirancang. Jangan lupa, perda Perlindungan Petani dan Perlindungan Tenaga Kerja/Buruh tidaklah berstatus melangkahi prinsip Lex superior derogat legi inferiori dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Sejumlah Regulasi diatasnya telah melegitimasi aturan turunan jika pemerintah daerah memiliki inovasi, kreativitas dan political will yang baik, tidak terkecuali Undang-undang HAM.
Bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah kita yang selalu overhead cost alias berbiaya tinggi itu tidaklah menjadi problem APBD, sepanjang belanja publik lebih besar ketimbang belanja aparatur. Namun faktanya ternyata berbanding terbalik. Di daerah kita, Pembiayaan eksekutif dan legislatif saja telah menekan belanja publik, upaya penyelesaian konflik agraria yang menimpa para petani di Desa Tawamelewe hanya berakhir dengan penundaan-penundaan. Pemerintah dan APH berdalih pada pasal menunggu realisasi anggaran belanja publik. Demikian salah satu contoh HAM petani dimarginlisasi secara struktural.
Padahal pada akhirnya, meski pemerintah daerah telah menetapkan ukuran-ukuran kinerja birokrasi dengan standar profesionalitas yang baik, tetap saja rakyat memiliki penilaian tersendiri apakah perintah cepat tanggap terhadap isu sosial dan problematika yang terjadi di tengah masyarakat. Bukan apakah pemerintah telah membayar gaji aparatur sipil negara dan para anggota dewan yang terhormat itu.
Efisiensi Anggaran, Ancaman atau Peluang
Sederhananya, efisiensi anggaran adalah agar tak ada lagi pemborosan. Pemotongan transfer ke daerah yang bahkan mencapai Rp 50,6 triliun lumayan “membuat gaduh” bukan dalam hubungannya dengan kebijakan itu dikeluarkan seorang Presiden Prabowo melalui Inpres Nomor 1 Tahun 2025. Melainkan menyangkut kesiapan daerah yang minim PAD dan berlebihan menggantungkan diri pada dana dekon pemerintah pusat.
Desentralisasi fiskal yang mengharuskan pemerintah dapat menggali sumber-sumber penerimaan daerah berdasarkan potensi yang dimiliki itu terjebak dalam situasi kelabakan. Pajak dan retribusi sebagaimana disebut diatas menjadi instrumen satu-satunya, dipaksakan melalui peraturan daerah meski ugal-ugalan dan tidak mempertimbangkan kemampuan warga, menabrak hak asasi manusia atas nama penyerapan PAD. Sementara, disisi lain pemerintah daerah diharap mampu meningkatkan efisiensi resource dan efektivitas pengelolaan APBD guna memastikan pelayanan publik dan pembangunan tetap terlaksana dengan baik dibalik itu semua.
Ancamannya, tak lain adalah defisit keuangan daerah. Selisih kurang antara pendapatan daerah dengan belanja daerah dalam satu tahun anggaran lagi-lagi menjadi persoalan bahkan terkesan itu-itu saja. Terulang terus menerus meski pada kesekian pergantian kepala daerah. Situasi pertumbuhan ekonomi daerah yang terkesan lambat sedari sebelumnya itu diperparah dengan kontraksi ekonomi diantara keruwetan transisi politik. Jangan lupa, data BPS Triwulan III (November 2024) telah menunjukkan penurunan angkat pertumbuhan ekonomi sebesar 4,95 persen dimana faktor tekanan daya beli masyarakat turut menempatkan Kabupaten Konawe sebagai penyumbang dari total 9,48 juta penduduk yang mengalami penurunan status ekonomi.
Karenanya, kegalauan rakyat adalah juga kekalutan pimpinan daerah. Pada titik ini Pemerintahan YA-SYAM ditantang memaksimalkan political will dan manajemen resource menyikapi kebijakan efisiensi anggaran dengan startegi peningkatan produktivitas daerah, kemandirian ekonomi daerah dan mengurangi ketergantungan alokasi anggaran dari pemerintah pusat. Teori ekonomi pun juga telah menjelaskan, bahwa produktivitas daerah tidak selalu ditentukan besaran belanja APBD, tetapi juga oleh efisiensi dalam penggunaan anggaran, kualitas tenaga kerja dan pemanfaatan teknologi tepat guna.
Dewan CSR dan Posisi Tawarnya
“Sebagai forum independen, Dewan CSR ini tidak saja memiliki peran strategis dalam pelaksanaan program Tanggung Jawab Sosial Lingkungan Perusahaan (TJSLP), namun dapat dijadikan salah satu instrumen dan sumber pendapatan lain dalam melaksanakan pembangunan sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah”
Demikian kutipan surat kami kepada Bupati dan Wakil Bupati Konawe belum lama ini (17/03/2025). Meski bukan satu-satunya, dewan atau Dewan Corporate Social Responsibility (CSR) ini tidak terlambat untuk berperan aktif dalam upaya pembangunan daerah. Belum lagi soal legitimasi regulatif dibaliknya, mulai dari Undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri hingga peraturan daerah dan peraturan bupati. Keseluruhan sekali lagi hanya tergantung dari Political Will Pemerintahan YA-SYAM.
Apa yang menjadi motivasi pendirian Dewan CSR ini tidak lain menyangkut posisi tawarnya di hadapan perusahaan dan kekuasaan pemerintahan. Peran alternatifnya dalam mengoptimalkan sumber-sumber pendanaan pembangunan daerah yang belum tercover oleh APBD terlebih pasca kebijakan efisensi anggaran, diharap mampu membantu pemerintah agar tetap berpihak pada hak asasi rakyat atas keberadaan perusahaan-perusahaan di daerah. Lagi-lagi logikanya adalah Reverse Logic atau logika terbalik dimana kerangka kerjanya lebih didasari pada upaya pemenuhan hak-hak rakyat atas produktivitas dan pengelolaan sumberdaya alam perusahaan-perusahaan yang ada di Kabupaten Konawe. Bukan sebagai lembaga formal yang hanya bertugas menggugurkan kewajiban konstitusi.
Berbicara tentang CSR atau tanggung jawab Sosial Perusahaan, peran dewan CSR bukan saja menyangkut pengawasan transparansi dan akuntabilitas penyaluran dana respon sosial perusahaan, tetapi juga lebih pada peran kordinatif atas distribusi keadilan dan pemerataan kepada rakyat Konawe secara keseluruhan. Visi Misi Pemerintahan YA-SYAM dalam pembangunan daerah diharap mendapatkan energi alternatif dari kelembagaan formal ini.
Mungkin ada baiknya kita mencermati pemerintahan Bupati Aceh Tamiang, Walikota Kota Makassar, Bupati Sleman atau Bupati Purwakarta yang sukses menjalankan peran Forum CSR mereka dengan merangkul hingga tiga ratusan perusahaan, NGO dan akedemisi dalam kepengurusan serta keanggotaan guna mendukung dan mengalokasikan anggaran untuk pembangunan daerah mereka. Pemerintahan mereka mendapatkan alternatif pendanaan pembangunan daerah dengan tidak bergantung pada APBD maupun APBN.
Sebagaimana diketahui, Provinsi Sulawesi Tenggara sendiri telah menetapkan Perda Provinsi Nomor 7 Tahun 2014 tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Diikuti Pemerintah Kota Kendari, Pemda Kolaka dan Pemda Konawe Selatan. Sedang selanjutnya, hanyalah menyangkut profesionalitas dan konsistensi forum itu sendiri. Bekerja untuk rakyat, pribadi atau sekelompok elit. Demikian.(*)